Seperti apa Rasanya Kuliah di Korea Utara

Seperti apa Rasanya Kuliah di Korea Utara

Seperti apa Rasanya Kuliah di Korea Utara

Tidak banyak yang tahu tentang pendidikan di kampus Korea Utara karena minimnya informasi yang tersebar keluar.Sistem pendidikan di negara di bawah pimpinan Kim Jong-un ini pun menarik sejumlah peneliti, salah satunya dari Times Higher Education (THE).

Tim Times Higher Education berhasil mengumpulkan narasumber dari mahasiswa yang berhasil meninggalkan negaranya yakni, Park Ji-hyun dan Sigley.

Tertutupnya informasi seputar Korea Utara di mata pihak luar menimbulkan asumsi-asumsi tentang pendidikan yang berlaku di sana. Lantas, seperti apa pengalaman Ji-hyun dan Sigley selama mengenyam studi di Korea Utara? Rasanya Kuliah di Korea Utara berikut sistemnya

Kurikulum Berpusat pada Keluarga Kim

Park Ji-hyun menamatkan pendidikannya selama 4 tahun di sebuah universitas pertanian di Hamgyong Utara pada pertengahan 1980-an. Saat ini, Ji-hyun memilih meninggalkan Korea Utara dan bermukim di Inggris.

Tidak jauh berbeda dengan pendidikan di negara lain, selama mengenyam pendidikan di sana, Ji-hyun dan mahasiswa lainnya selalu mendapat banyak tugas. Meski demikian, mereka juga mendapatkan mata kuliah wajib tentang politik yang berfokus pada keluarga Kim atau pimpinan negara Korea Utara.

“Tugas-tugas jadi sulit. Karena bukan hanya satu mata kuliah, tetapi (perlu pelajari) sejarah Kim Il-sung (juga),” cerita Ji-hyun.

Untuk di ketahui, Kim Il-sung adalah kakek dari pemimpin Korea Utara saat ini. Ia memimpin Republik Rakyat Demokratik Korea secara resmi sejak tahun 1948 hingga wafatnya pada tahun 1994. Putranya, Kim Jong-il, sekaligus ayah dari Kim Jong-un, kemudian melanjutkan dinasti pemerintahan.

Tidak hanya dibebankan kewajiban untuk memahami sejarah keluarga Kim, Ji-hyun dan 30 teman kelas lainnya akan menerima sesi mendengar ‘ceramah’ politik di kampus dengan pengajar yang berbeda-beda dalam satu sesi. “Waktu kami di curahkan untuk mempelajari apa yang mungkin di anggap oleh akademisi luar sebagai propaganda politik,” katanya.

Baca juga: Universitas Asal China Tandatangani MoU dengan UMJ

Ada Gap Pengetahuan dengan Negara Lain

Sudah menjadi informasi umum bagi negara Korea Utara yang membatasi informasi dari dalam ke luar maupun informasi dari luar ke dalam. Hal ini juga di rasakan oleh Park Ji-hyun semasa kuliahnya yang mulai merasakan ada gap atau jarak pengetahuan dengan teman-teman seusianya di dunia.

Sebelumnya, gap pengetahuan ini tidak pernah di rasakan Ji-hyun selama berkuliah. Setelah pindah ke Inggris pada 1998, barulah ia menyadari, seakan masih banyak pengetahuan umum yang belum diketahuinya selama ini.

“Aku lulus (pendidikan) tapi seperti tidak mempelajari apa-apa. (Kami) tidak pernah menerima pengetahuan global karena hanya (menerima informasi) dari para pengajar,” kata Ji-hyun.

Di jaga Pengawal-Dilarang Pinjam Buku bagi Warga Asing

Akses bagi warga asing di kampus-kampus Korea Utara masih terbatas. Di laporkan Times Higher Education, hal ini dapat terlihat di Pyongyang University of Science and Technology (PUST) atau satu-satunya kampus yang menjadi bagian minoritas dengan membuka akses bagi warga asing.

Bagi pengajar asing di PUST yang hendak ke ibu kota, wajib di dampingi oleh pengawal khusus dari Korea Utara. Sementara di lingkungan kampus, meski tidak di beri penjagaan pengawal khusus, ada mahasiswa yang ‘bertugas’ untuk mengawasi pengajar asing.

“Kampus juga memastikan bahwa pengajar tidak memperkenalkan konsep apa pun yang mungkin mengganggu rezim,” tulis Times Higher Education.

Tidak Ada Tanya Jawab dalam Presentasi

Sesi tanya jawab dalam presentasi atau konferensi mungkin menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi negara lain. Berbeda bagi Korea Utara, menurut Sigley, konferensi internasional yang diadakan oleh Pyongyang’s Kim Il-sung University (KIS) pun di kontrol dengan ketat.

Setelah presentasi berakhir, peserta konferensi akan terlihat langsung keluar dari aula pertemuan. “Tidak ada diskusi sama sekali. Di Korea Utara, tidak ada celah bagi mereka untuk mengizinkan pertukaran ide (dalam) tingkat intelektual seperti itu,” kata Sigley.